Kita, lima tahun sekali menyisihkan sehari waktu yang amat penting menjalani hidup, hanya untuk memilih beberapa orang calon untuk kita tempatkan pada juru kemudi yang kita sebut penguasa. Atau segerombolan orang yang akan ditempatkan pada tugas legislasi.
Berpuluh-puluh tahun dan itu terus diwariskan dalam bentuk pemilu, kita belum sepenuhnya berhasil menyaring orang yang cocok. Ada saja salah pilih. Belum lagi godaan dalam bentuk janji dan materi, hadir mempermanis jalannya pemilihan. Pemilu menjadi peristiwa politik penuh skenario atraktif. Kita disuguhi sandiwara yang cukup menarik di tengah kehausan hiburan.
Reza Mustafa, penulis sekaligus jama'ah Komunitas Kanot Bu, dalam vignetnya menangkap betapa figur pemimpin atau tokoh yang tersedia tidak utuh. Ada saja kurang. Lengkap kepala, tidak utuh indera. Ada mata tidak ada otak. Atau sebaliknya. Karya tahun 2012 ini dipajang di pintu kamar belakang KKB. dan kita menangkap ketakutuhan ini sebagai bentuk sinisme terhadap perilaku politik politikus. Misal, berjubah agamis, korup terselubung. Berdandan tokoh, makan dana bantuan amat bernafsu. Juga misalnya, latar seniman, begitu berpolitik, elitis dan feodal berperilaku. Fenomena ini sedang trend paska reformasi hingga paska damai Aceh.
Figur yang utuh dalam perilaku hanya kita dapati dalam kisah hikmah atau dongeng pengantar tidur anak kita. Selebihnya, nihil.