Google

Rabu, 26 Oktober 2022

Seni, Adat dan Siasat


Saya akan menceritakan sekilas  bagaimana kehidupan seni di Aceh dari zaman ke zaman. Sebuah perjalanan panjang melalui banyak tikungan sejarah hingga sampai ke tangan kita hari ini. Yang kemudian membentuk perilaku dan sikap berkesenian, terutama di Aceh.


Walau begitu, tak ada niat saya untuk mengagung-agungkan seniman Aceh. Cerita di bawah ini hanya ilustrasi semata yang akan membentuk satu perspektif tentang satu dunia.

Ia diperkirakan hidup dan berkarya tatkala pasukan Belanda sedang memperluas teritorial hingga hampir mencapai kawasan Samalanga dan bersiap meratakan kawasan Batee Iliek (benteng tangguh pejuang Aceh).

Dia-lah pelukis lokal Aceh bernama Teungku Teungoh, hidup di tengah kecamuk kolonialisme Belanda namun tetap memproduksi karya yang kemudian hari dikoleksi oleh Van Heutsz. Seorang serdadu cakap dan berpengalaman dalam medan laga yang entah mujur atawa jasa besarnya menaklukkan Aceh, lalu diangkat menjadi gubernur Hindia Belanda.

Teungku Teungoh, dalam beberapa catatan disebut Teungku tengah, hidup dalam perang dan kemungkinan besar tidak ikut bergerilya ke rimba-rimba Aceh yang ganas untuk sesekali turun memberi pelajaran kepada Belanda di bivak-bivak terdekat (tapi berdasarkan pengalaman masa konflik, tak ikut bergerilya bukan berarti membenci gerilyawan. Dukungan bisa saja diberikan dengan menyuplai bekal, informasi pergerakan musuh hingga doa). Sementara, para pemuda dan orang-orang sekampungnya pada saat itu sedang berjibaku dengan gawatnya hidup pindah-pindah demi menghindar dari amuk para Marsose yang gila karena punya peralatan tempur moderen dan lengkap.

Karena menjadi seniman di era perang, Teungku Teungoh tidak mau terlibat dan berpihak secara terang-terangan demi menyelamatkan diri, dengan melukis sesuatu yang sifatnya tak politis dan mengganggu kepentingan kolonial Belanda di Aceh. Maka, beliau melukis suasana istana kerajaan pada masa lalu, kegembiraan pasar mingguan dan potret "intat linto" atau prosesi antar pengantin pria.

Lukisan-lukisan karya Teungku Teungoh, menyiratkan gores yang lugu, polos dan sangat dunia ketiga. Dan itu amat disenangi oleh orang-orang dari dunia pertama. Kini, karena kemajuan teknologi informasi, bisa kita saksikan lukisan-lukisan itu beredar luas di internet setelah dipublikasi oleh sebuah museum di Belanda.

Kemudian dari pada itu, dengan dikoleksi atau bahkan mungkin diambil paksanya lukisan Teungku Teungoh dan dipajang di museum di negara Eropa, beliau mengalami internasionalisasi? Coba bayangkan seandainya lukisan Teungku Teungoh mengetengahkan obyek-obyek yang menyudutkan posisi Belanda dalam perang Aceh itu? Bahkan bukan hanya lukisan yang diambil paksa, nyawa beliau pun ikut serta. Dalam hal ini, posisi seniman di tengah kecamuk perang, sangat rentan. Untuk itu, dibutuhkan keberanian bersuara dengan latar pengetahuan yang cukup tentu saja.

Berbeda ketika Aceh terlibat perang dengan Indonesia dua tahun setelah reformasi berkobar di Jakarta. Dalam masa darurat militer dan darurat sipil, seniman Aceh, walau bermukim dan memproduksi karya di ibukota, karya mereka mengalami sensor ketat dari penguasa perang di Banda Aceh yang dalam pada ini sepenuhnya di tangan Komando Daerah Militer (KODAM).

Jauhari Samalanga misalnya, seorang produser musik grup musik "nyawoeng" yang mengeluarkan album tentang spirit keacehan, mendapat peringatan berkali-kali dari penguasa perang karena lirik yang termaktub dalam sekujur album itu, bisa membangkitkan semangat perlawanan bangsa Aceh untuk menuntut kemerdekaan. Padahal sepenuturannya kepada saya saat ngopi sore di Banda Aceh beberapa hari lalu, lirik lagu Nyawoeng berasal dari nazam masa lalu yang diajarkan para guru ngaji pada anak-anak sehabis belajar ngaji Al Quran ba'da Magrib. Tak ada niat mereka untuk memprovokasi rakyat untuk bangkit melawan pemerintah Indonesia kala itu. Tapi, penguasa perang memandang itu sebagai 'gangguan' yang harus dihentikan sebelum menyebar luas.

Lalu kemudian, berdasarkan sekilas kisah di atas, di mana posisi seniman Aceh saat itu dalam arus perubahan global? Atau, pertanyaan selanjutnya, pengetahuan dan teknologi macam apa yang diimani seniman Aceh tatkala konflik bersenjata terjadi, mereka membuat karya yang 'mengganggu'?

Jangan-jangan, makin majunya pengetahuan malah membikin ciut nyali seniman yang kemudian membuat karya mengagung-agungkan perdamaian, sementara penjajahan berlansung dan keadilan terancam.

Sejarah tentang seni perjuangan telah jauh-jauh hari diwarisi seniman Aceh dari karya monumental "hikayat perang sabil" yang ditulis Teungku Chik Pante Kulu (penggunaan "Teungku" untuk Pante Kulu karena faktor keilmuannya. Sementara untuk Teungku Teungoh, itu hanya lakap biasa sebagaimana orang Aceh menyebut lawan bicara sesama Aceh). Pante Kulu adalah ilmuwan agama Islam yang disuruh pulang dari Mekkah oleh gurunya untuk terlibat mengobarkan semangat jihad melawan Belanda. Dalam kapal laut antara Mekkah dan Batavia, ia berhasil menulis hikayat prang sabi yang sampai kini masih lengkap terdokumentasi di beberapa pesantren (dayah) tradisional.

Narasi sejarah seni di Aceh adalah warisan semangat juang. Itulah yang ditinggalkan orang-orang terdahulu. Baik sifatnya yang relijius atau yang sama sekali tak menyangkut agama. Seperti misalnya karya Mahdi Abdullah. Secara umum menghadirkan masalah terkini Aceh yang secara politis selalu bergejolak. Mahdi cukup piawai. Pembacaannya terhadap realitas sosial Aceh harus diakui selangkah lebih maju dari perupa Aceh lain. Ia harus berproduksi di Jawa. Karena seni rupa terkini Aceh, tak segegap gempita masa mudanya dulu.

Lalu, apa yang kita harapkan dari perubahan global kalau begitu? Diundang berpameran di Jerman, New York dan Sydney? Lalu kita bercerita kepada produsen wacana global itu, bahwa betapa tertinggalnya kebudayaan kita di bidang seni rupa hingga kita butuh bantuan mereka untuk hadir memberi pengetahuan kepada seniman-seniman lokal kita yang kelihatan tak berdaya secara ekonomi?

Soal kemajuan ilmu pengetahuan dan kita melarung pikiran di dalamnya dengan segala ketakmampuan menalari, apa lagi produk pengetahuan dari sarjana barat, bukanlah satu kemunduran. Pengetahuan lokal saja belum habis kita gali dan terarsip dalam gudang-gudang ingatan atawa produk pengetahuan yang akan kita warisi pada anak kita kelak.

Di Aceh sekarang, sedang gencarnya terjadi distribusi pengetahuan "Adat Berdaulat". Diskusi dan kelas-kelas jangka pendek dilakukan runtun di kalangan pekerja budaya, mahasiswa dan calon-calon politisi. Dalam buku "adat berdaulat, melawan serbuan kapitalisme di Aceh", Affan Ramli membagi ragam gerakan adat di Aceh menjadi empat bentuk :

[  ] Adat ningrat (feodal)
[  ] Adat upacara (ritual)
[  ] Adat kuasa (politik)
[  ] Adat rakyat (berdaulat)

Menurut Affan, wujud adat dalam konteks Aceh lahir dari persenyawaan Aceh dan Islam. Dalam makna yang lebih teknis, adat adalah pelembagaan akhlak dalam sistem kehidupan masyarakat Aceh, secara personal dan secara sosial sekaligus. Sebelumnya, saya pribadi memandang adat masih sempit, hanya adat ningrat dan ritual. Ternyata, adat itu luas benar adanya mengatur personal dan sosial. Kekeliruan selanjutnya tentang adat yang saya alami adalah persis seperti yang diungkapkan Affan;

[  ] Adat adalah aturan tak tertulis.
[  ] Adat sebagai kebiasaan masa lalu.
[  ] Adat dianggap sebagai pedoman hidup masayarakat tradisional dan pedalaman.

Padahal, faktanya, adat Aceh sudah disusun dan ditulis pertama kali tahun 1607. Namun, kitab adat Aceh yang dapat dilihat saat ini, versi naskah tahun 1815. Kemudian, di tangan cendikiawan Aceh, adat dapat dibagi dalam 4 cabang: [1] adat sebagai sistem politik; [2] adat sebagai sistem ekonomi (adat hutan, adat laut, adat sungai, adat persawahan dan adat sabuk antara sawah dan hutan. Semua ini dipanglimai oleh seorang yang telah berpengalaman di bidangnya); [3] adat sebagai sistem hukum;[4] adat sebagai sistem kekerabatan (tata cara perkawinan, perayaan, kenduri dan gotong royong).

Akhirnya, saya sadar bahwa apa yang diwarisi oleh intelektual masa lalu, belum sepenuhnya saya ketahui dan kerjakan. Akhlak personal dan sosial runtuh oleh pemahaman keliru tentang kebebasan yang kebablasan. Barat yang kami agung-agungkan ternyata tak membantu sama sekali membangun. Malah kita dipacu untuk berada dalam budaya persaingan tanpa perlu bersanding, tamak, materialistik dan individualis.

Itu semua akhirnya menginsafi kita untuk kembali pada akar dimana tunas awal kita tumbuh; nusantara.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf jika keliru.

Salam hangat dari Banda Aceh.

Sabtu, 26 September 2015

Poster-Poster TerasSore KKB

Acara yang selalu secara rutin diadakan di BilikRoepa PaskaDOM ini giat mendiskusikan seni sebagai alat untuk mengungkapkan fenomena dan realitas sosial. dengan mengundang pembicara dari kalangan praktisi dan akademisi muda yang bergelut di dunia seni, acara ini berjalan sudah tiga kali hingga sekarang.

Jumat, 24 Juli 2015

Rabu, 15 Juli 2015

Figur

Reza Mustafa. Pen on carton

Kita, lima tahun sekali menyisihkan sehari waktu yang amat penting menjalani hidup, hanya untuk memilih beberapa orang calon untuk kita tempatkan pada juru kemudi yang kita sebut penguasa. Atau segerombolan orang yang akan ditempatkan pada tugas legislasi.

Berpuluh-puluh tahun dan itu terus diwariskan dalam bentuk pemilu, kita belum sepenuhnya berhasil menyaring orang yang cocok. Ada saja salah pilih. Belum lagi godaan dalam bentuk janji dan materi, hadir mempermanis jalannya pemilihan. Pemilu menjadi peristiwa politik penuh skenario atraktif. Kita disuguhi sandiwara yang cukup menarik di tengah kehausan hiburan.

Reza Mustafa, penulis sekaligus jama'ah Komunitas Kanot Bu, dalam vignetnya menangkap betapa figur pemimpin atau tokoh yang tersedia tidak utuh. Ada saja kurang. Lengkap kepala, tidak utuh indera. Ada mata tidak ada otak. Atau sebaliknya. Karya tahun 2012 ini dipajang di pintu kamar belakang KKB. dan kita menangkap ketakutuhan ini sebagai bentuk sinisme terhadap perilaku politik politikus. Misal, berjubah agamis, korup terselubung. Berdandan tokoh, makan dana bantuan amat bernafsu. Juga misalnya, latar seniman, begitu berpolitik, elitis dan feodal berperilaku. Fenomena ini sedang trend paska reformasi hingga paska damai Aceh.

Figur yang utuh dalam perilaku hanya kita dapati dalam kisah hikmah atau dongeng pengantar tidur anak kita. Selebihnya, nihil.